Tujuh Jiwa
Manusia memang bukan seonggok daging yang hidup. Yang hidup seperti hewan, atau seperti tumbuhan.
Kalau hewan dan tumbuhan memang betul, hanya seonggok daging yang hidup. Ia hidup dari air, udara, cahaya, dan mineral dari bumi. Tugasnya hanya mengembangbiakkan kehidupan di bumi. Dan sebagai sarana kebutuhan hidup manusia.
Tetapi, manusia diciptakan sebagai komponen yang komplit. Jika tumbuhan dan hewan hidup di bumi ini sebagai sarana kebutuhan manusia, maka manusia hidup di bumi ini sebagai sarana Tuhan untuk "berkreasi".
Untuk itu Tuhan menciptakan manusia dalam dua komponen. Lahir dan batin.
Bentuk batin manusia dilengkapi dengan jiwa. Jiwa seakar kata dengan "nafs". Bentuk jamak dari "nafs" adalah "anfus", atau "napas". Orang Jawa menyebut napas itu "ambekan", yang berasal dari kata "ambek" yang artinya batin, atau rasa. Dengan demikian napas merupakan bagian pokok dari jiwa atau kehidupan.
Bukan hanya manusia yang bernapas. Tumbuhan dan hewan juga bernapas. Mereka juga memiliki jiwa untuk hidup. Hanya saja jiwa manusia, hewan dan tumbuhan berbeda. Asalnya dari yang satu, sama-sama berasal dari Sang Pencipta. Namun kualitasnya berbeda.
Manusia dilengkapi dengan "Al-nafs al-Amarah", jiwa Amarah. Jiwa yang berkaitan dengan kehidupan fisik disebut jiwa Amarah. Jiwa Amarah bukan nafsu amarah yang kerjanya marah-marah. Tetapi jiwa yang kerjanya berdasarkan kodrat yang ditetapkan Tuhan.
Lahirnya kita merupakan perwujudan aktivitas dari jiwa Amarah. Semua makhluk hidup mempunyai jiwa Amarah untuk pertumbuhan, dan kehidupan. Inilah jiwa dasar. Jiwa yang berfungsi untuk mengoperasikan seluruh organ tubuh manusia. Jiwa Amarah disebut juga naluri. Semua organ tubuh kita bergerak sesuai nalurinya. Jiwa ini juga disebut pikiran tak sadar, "Unconscious mind state".
Kemudian ada "Al-Nafs al-Lawwamah" jiwa Lawwamah. Jika jiwa Amarah melekat pada kulit terluar bagi manusia, maka jiwa Lawwamah merupakan kulit yang lebih halus yang letaknya setingkat lebih dalam. Jiwa ini bisa ke luar masuk jasad, baik tatkala dalam kondisi sadar maupun tidur.
Ketika tidur jiwa Lawwamah mengembara, maka manusianya bermimpi. Dalam tidur jiwa ini ke luar untuk melihat peristiwa yang terjadi saat itu. Ia tidak terikat oleh ruang, tetapi waktu terjadinya pada saat jiwa itu mengembara. Mimpi yang terjadi adalah karena jiwa Lawwamah merekam semua peristiwa dari masa lampau. Mungkin saja saat bermimpi itu kita merasa melihat suasana yang asing yang tidak pernah kita ingat. Tetapi secara tidak sadar, jiwa ini telah merekamnya.
Sistem kerja jiwa Lawwamah adalah merekam kejadian disekitarnya secara otomatis. Baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Orang barat menyebut jiwa ini sebagai pikiran bawah sadar, "Subconscious mind state."
Jiwa inilah yg mendorong manusia terikat pada kehidupan dunia. Jika yang terikat itu sesuatu yang menyakitkan dirinya dan mudah tampil ke permukaan kesadaran, maka orang yang bersangkutan mengalami hidup trauma. Jika yang terekam itu sesuatu yang menyenangkan atau kenangan manis dan tampil ke permukaan kesadaran, maka orang yang bersangkutan mudah melamun dan menghayal. Trauma dan melamun, sangat tidak baik bagi kesehatan jiwa.
Orang yang mengalami trauma hidupnya dalam keadaan terteror oleh dirinya sendiri. Ia akan tertekan oleh ketakutan yang tidak wajar. Seperti banyak dikalangan selebritis yang takut akan sesuatu yang tidak wajar.
Sedangkan orang yang bersifat melamun akan terjeblos ke dalam kehidupan yang tidak realistik. Ingin kaya dengan cara berjudi. Ingin hidup enak dengan bermalas-malasan.
Senang mengejar kebahagiaan semu. Misalnya, merasa bahagia jika dipuji, disanjung, diangkat-angkat nama dan kebaikannya, dihargai secara berlebihan, dan lain-lain.
Sifat-sifat itu melekat kuat pada masa kanak-kanak.
Karena tidak tertutup hingga dewasa, maka timbullah berkhayal.
Salat, berzikir atau bermeditasi sebenarnya bagian dari cara untuk menutupi semua rekaman jiwa Lawwamah ini. Ketika kita salat, jiwa ini akan aktif. Makanya orang yang salat pikirannya mengembara kemana-mana. Apa yang tak teringat dalam keadaan biasa, akan muncul pada saat salat. Untuk menghapus memori atau kesan yang ada di dalam jiwa Lawwamah, maka diciptakanlah objek dalam salat, zikir, atau meditasi.
Objek dalam salat adalah membaca ayat-ayat, dan mengingat Allah. Objek di dalam zikir adalah membaca kalimat thayyibah "La ilaha illa Allah" baik secara lisan maupun dalam hati. Sedangkan objek dalam meditasi adalah benda, warna, simbol, atau bentuk-bentuk yang berhubungan dengan pengalihan pikiran.
Objek adalah sesuatu yang menjadi pusat perhatian dalam salat, zikir atau meditasi. Jika tidak ada objek sama sekali, maka pikiran akan mengembara kemana-mana. Dan jika dipaksa untuk berkonsentrasi, kepala menjadi pusing.
Jiwa Lawwamah merupakan jiwa yang paling dekat dengan bentuk jasmani. Jiwa inilah yang bisa ke luar dari raga, atau meraga sukma. Bila ada orang yang menampakkan diri di lain tempat, misalnya tiba-tiba ada di Mekkah, itu semua merupakan wujud dari jiwa ini. Termasuk jika ada orang yang bertemu dengan jiwa orang yang mati, maka ia bertemu dengan jiwa Lawwamah orang tersebut. Karena jiwa ini masih terikat dengan kemelekatan pada dunia.
Tetapi umumnya manusia yg mengalami kematian terbebas dari belenggu jiwa ini.
Jiwa Lawwamah ini disebut juga jiwa perasa. Emosi, benci dan cinta ada di wilayah jiwa ini. Berbagai macam sifat negatif seperti iri, dengki, dendam, marah, kecewa, dan sebagainya, berasal dari jiwa ini. Jika seseorang memperturutkan dorongan yang timbul dari jiwa ini, maka rusaklah kehidupannya.
Perintah agama untuk salat, zikir, perenungan, meditasi, bertapa, atau apapun namanya adalah untuk menghilangkan kotoran memori yang ada di dalam diri manusia. Lalu jiwa diisi dengan energi positif yang berupa doa, mantra, ayat-ayat suci dan lain - lainnya. Sehingga dengan cara seperti itu hidup terasa tenang.
Lapisan jiwa yang lebih halus disebut, "Al-Nafs al-Mulhamah" atau jiwa Mulhamah. Jiwa yang dapat menerima ilham. Baik itu ilham yg bagus maupun ilham yg buruk. Namun jiwa ini berkemampuan memilih yang benar maupun yang salah. Keinginan dan kehendak bekerja di dalam jiwa Mulhamah.
Alam pikiran yang bekerja pada jiwa Mulhamah ialah pikiran sadar, "Conscious mind state."
Pikiran yang bisa menimbang-nimbang berbagai hal. Kemampuan rasionya meningkat. Dengan pikiran sadarnya, manusia bisa membandingkan berbagai macam objek yang diketahuinya. Emosi dan kekuatan negatif pada jiwa Lawwamah dapat diredam oleh kekuatan jiwa ini. Dapat dikendalikan sesuai dengan kenyataan yang ada di sekelilingnya. Yang perlu disadari dari kekuatan jiwa ini ialah kuatnya daya tarik terhadap materi.
Ketika di tahap jiwa Lawwamah, daya tarik terhadap materi tdk begitu menonjol. Namun di tahap jiwa Mulhamah daya tarik manusia terhadap harta benda dunia sangat kuat. Jika manusia terjebak di sini, maka ia sulit keluar dari cengkraman dunia, bahkan tidak tertarik dengan kehidupan spiritual.
Ada kaitan erat antara jiwa Mulhamah dgn jiwa Lawwamah. Dalam keadaan tidur jiwa Mulhamah ini juga suka wara-wiri. Apa lagi jika banyak angan-angan.
Jiwa ini tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Menurut para psikologi, jiwa Mulhamah ada di alam astral. Suatu lapisan alam yang lebih halus dari pada alam eterik. Nah, jiwa Lawwamah ada di alam eterik. Jika kedua jiwa sama-sama ke luar badan pada saat tidur, maka mimpinya pun campur aduk. Masing-masing membangkitkan kesan yang berbeda.
Aktivitas jiwa Mulhamah memang lebih banyak mengenang masa lalu. Jika jiwa ini aktif dalam kesadaran seseorang, maka ia lebih terpanggil untuk hidup seperti hidup di masa lalu. Ia lebih tertarik dengan kejadian-kejadian masa lalu. Lebih menyenangi dongeng-dongeng dan mitologi. Saking cintanya terhadap hal-hal yang berbau masa lalu, menyebabkan seseorang memiliki cita-cita yang tidak realistis.
Al-Nafs al-Muthmainnah. Jiwa Mutmainah. Inilah jiwa yang tenang. Jiwa yang keberadaannya di alam mental. Alam transisi antara dunia astral dan spiritual. Jiwa ini sudah bebas dari ikatan ruang dan waktu. Jiwa ini bisa berkelana ke masa lalu maupun ke masa depan. Jika jiwa ini menembus masa depan, maka orangnya bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, lebih banyak masa depan yang terkait dengan dirinya, bukan masa depannya orang lain.
Dalam kajian teori barat jiwa Mutmainah berada dalam keadaan super sadar. "Superconscious mind state." Pikiran yang telah melampaui objek-objek material. Emosi positif, seperti cinta dan rindu kepada Tuhan berada di wilayah jiwa ini.
Jiwa Mutmainah ada di lapisan terdalam batin manusia. Jiwa ini merupakan lokus, tempat, bagi beroperasinya "Ruh" atau spirit. Dalam keadaan super sadar inilah seseorang dapat memberdayakan kekuatan ruh, spirit yang ada di dalam dirinya.
Agar manusia tidak buta spiritual, maka ia harus meningkatkan dirinya sampai pada jiwa Mutmainah.
Jiwa Mutmainah dapat diaktifkan untuk berimajinasi. Imajinasi bukan khayalan. Imajinasi adalah kemampuan untuk membentuk konsep yang belum nyata di alam ini. Sedangkan khayalan hanyalah impian dalam kondisi jaga. "Daydreaming".
Jadi, imajinasi bersifat kreatif dan produktif, sedangkan khayalan hanya bayangan yang memboroskan energi dan waktu. Nah, bangsa-bangsa di barat telah mengeksplorasi kemampuan jiwa ini.
Sehingga mereka mampu berkarya.
Selanjutnya jiwa Spiritual. Atau disebut juga jiwa Ruhiyah. Kesadaran spiritual kita harus bangkit. Tidak hanya berhenti pada kesadaran yang melekat pada jiwa Mutmainah saja. Tapi meningkatkan diri pada kesadaran spiritual. Yang tempatnya pada alam malakut. Alam ini tidak bersifat sendiri-sendiri. Ia bagaikan cahaya yang kontinum. Seseorang yang mampu meningkatkan kesadarannya di tingkat ini, akan bisa merasakan kebenaran yang sama. Tidak bersifat subjektif. Perbedaan keyakinan dan agama tidak mempengaruhinya. Jiwa ini terikat oleh kebenaran yang sama dengan jiwa-jiwa spiritual orang-orang lainnya.
Jika jiwa seseorang telah sampai pada alam spiritual, maka batiniahnya akan berkembang. Perkembangan yang melampaui pikiran. Ada suatu kebahagiaan spiritual yang tidak dirasakan oleh jasmani.
Jiwa Kosmik, atau jiwa Lubbiyah. Inilah jiwa yang keenam dalam diri kita. Di jiwa ini antara kesadaran pikiran dan dzat sudah menyatu. Kehalusan budi dan kehalusan bahasa bersemi di jiwa ini. Penghayatan terhadap hakikat ada pada alam Lubbiyyah.
Pada jiwa Lubbiyyah pikiran semakin ditinggalkan. Intuisi yang masuk. Sehingga seseorang yang sudah mampu membangkitkan kesadaran Lubbiyyahnya, tidak terlalu mengandalkan panca indra.
Orang yang berzikir atau melakukan meditasi, dan mampu menembus jiwa Lubbiyyah akan merasa fana. Ia merasa tidak memiliki badan. Merasa hilang. Pikiran tdk berlaku, karena itu tidak ada ilusi dan halusinasi. Yang hadir hanya intuisi. Atau wahyu. Orang Jawa bilang wisik.
Intuisi itu hadir tanpa suara dan tanpa bentuk. Karena di alam fana bentuk sudah lenyap. Intuisi merupakan wujud dari kodrat hidup. Seseorang yang mengalami intuisi bisa melakukan dengan benar tanpa belajar atau berlatih. Intuisi merupakan pengetahuan langsung, tanpa bukti dan tanpa nalar.
Bila di dalam zikir atau meditasi, kita masih melihat bentuk atau mendengar suara, maka kita masih di alam ilusi dan halusinasi. Pikiran masih bekerja. Jika pikiran masih bekerja, maka apa yang kita sebut sesuatu sebagai Tuhan sebenarnya hasil budi, angan-angan kita sendiri. Bukan karena kita menyaksikan-Nya.
Kemudian yang terakhir jiwa ketujuh. Jiwa Rahsa. Atau jiwa Nirwana. Orang menyebut alam langit yang ketujuh sebagai alam wahyu. Alam baka. Alam kekosongan. Alam ketiadaan. "Sunyaruri". Tetapi bukan tidak ada alam. Karena pada tingkatan ini seseorang telah melihat hakikat alam. Dikatakan tdk ada, karena yang maujud ini semuanya sebenarnya maya, tidak ada bentuknya.
Di dalam sebuah hadis Qudsi dikatakan di dalam "sirr" ada "Aku". Dalam ajaran Jawa dikatakan bahwa "sajroning rasa iku Ingsun", di dalam rasa ada Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan.
"Kucipta malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Bila kita telah menyadari dan menghayati bahwa hakikat "Aku" itu satu, maka kita telah sampai ke alam makrifatullah.
Di alam inilah kita melihat diri kita sendiri, "Ingsun Sejati". Bukan melihat wujud diri yang jasmani. Tetapi wujud diri ruhani.
Seseorang yang telah sampai pada penyaksian diri sejati, semua ego disingkirkan, dilepas semua. Maka syariat, tarekat, hakikat dan makrifat hanya merupakan jalan.
Salam bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar