Selasa, 18 Februari 2020

Diam Rumi

Makna Diam Menurut Maulana Rumi*

Diam atau hening dalam ranah sufistik termasuk pembahasan yang sangat penting dan juga tentu menarik. Apalagi pembahasan ini hampir hadir dalam seluruh agama dan juga aliran spiritual lainnya. Salah satu ungkapan yang sangat terkenal dalam pemikiran tasawwuf, “siapa yang mengenal Tuhan-Nya, lidahnya akan menjadi bisu”.

Maulana Rumi salah satu sufi yang memberikan ruang khusus dalam menjelaskan persoalan hening dan diam. Namun kira-kira mengapa kaum sufi begitu menaruh perhatian tentang diam dan hening? Berikut ini diantara beberapa faktor yang menjelaskan posisi diam dalam persoalan tasawwuf dan juga menjelaskan beberapa kareksteristik diam:

1. Rahasia Ilahi tidak sepantasnya diungkapkan di majelis-majelis yang sebagian besar dihadiri oleh orang-orang awam.

2. Diam atau hening salah satu dari adab suluk sebab diam akan mensucikan batin manusia. Syekh Sahal Sustari (salah satu sufi besar) mengatakan, “hening tak akan dicapai dengan sempurna kecuali dengan khalwat, dan taubat tidak akan benar kecuali dengan hening”.

3. Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan: 

Jika engkau tak ingin dihasut syaitan,
Hilangkan ego dan keakuan dan berlindunglah pada kejujuran,
Jika kau tak punya kejujuran, paling tidak, diamlah. Karena perkataan menegaskan ‘kita’ dan ‘saya’.

Perkataan yang menetap di hati akan menguatkan nalar,
Efek dari diam, nalar jiwa akan menemukan segala yang dicari. Namun saat kau berkata, nalarmu yang sangat aktif, Kurangilah nalarmu agar kau tetap baik,
Seseorang yang kurang bicaranya, pikirannya tinggi, Namun saat bicara yang banyak, nalar pun sirna.

4. Bagi Rumi tanpa bahasa adalah suatu bentuk dari bahasa itu sendiri. Maksudnya terkadang dalam memahami sesuatu yang tak terpahami bisa melalui keheningan dengan bertanya ke dalam diri kita.

5. Diam pada hakikatnya dipahami sebagai suatu pengalaman. Khususnya makrifat terkait dengan Tuhan pada tahapan tertentu tak lagi mampu terwakili oleh kata-kata. Disini manusia membutuhkan suatu bentuk keheningan agar manusia dapat memahaminya melalui pengalaman ke dalam diri yang paling batin.

6. Kata Rumi dalam Matsnawi:

Seorang arif mulutnya tertutup, namun hatinya penuh rahasia, Mulutnya tak bergerak, namun ada lantunan melodi di dalam hatinya, Para arif yang telah meraih medali Ilahi, meski rahasia bersama dirinya, Namun mereka menyembunyikannya.
Ia mengajarkan rahasia perbuatan kepada siapa saja yang lidahnya diam, dan mulutnya tertutup.

7. Pada prinsipnya, alam makna adalah alam keheningan (tanpa bentuk dan tanpa materi) yang justru bertindak sebagai penggerak alam materi. Oleh sebab itu tak heran jika para sufi mengarahkan seluruh eksistensinya menuju alam keheningan.

8. Keheningan akan membuahkan kemurnian dan dari kemurnian akan membuahkan bahasa yang paling indah sebagaimana yang dihasilkan oleh kaum sufi dalam membahasakan pengalamannya.

9. Kata Maulana Rumi:

Makanan Nafsul Muthmainnah adalah diam, Makanan Nafsun Nathiqah adalah perkataan.

10. Diam termasuk salah satu faktor yang mampu memisahkan antara hak dan batil. Tanpa simbol dan kesirnaan mutlak dapat ditemukan dalam keheningan. Saat manusia diam, rahasia-rahasia akan mendekat kepadanya dan hatinya terbuka dalam mendengarkan rahasia-rahasia.

11. Esensi diam sangat terkait dengan esensi cinta. Mereka yang memahami makna diam akan memahami pula makna cinta sebab ada kaitan erat antara cinta dengan diam dalam tradisi sufi.

 Dalam tradisi perjalanan sufi dikenal istilah mahabbah (cinta) yang berarti mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Pada titik ekstremnya, cinta ini bisa timbul karena telah tahu betul akan keberadaan Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi Tuhan, akan tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai (wahdat al-sifât).

Cinta seperti ini memiliki dasar dalam Alqurân sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Mâidah ayat 54:

فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya ”

Sebelum menjadi sebagai ahli tasawuf dan sastrawan terkemuka, Rumi adalah seorang guru agama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Dalam usia 36 tahun dia sudah tidak mengajar ilmu-ilmu formal. Dia insyaf bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah jiwa murid-muridnya. Menurut Rumi, perubahan bisa terjadi apabila seseorang mendapat pencerahan (enlightment). Untuk mendapat pencerahan, harus bersedia menempuh jalan cinta (‘ishq). Dalam kitab Matsnawi dituliskan:

“Tiada salahnya aku berbicara tentang cinta dan menerangkannya, tetapi malu melingkupiku manakala aku sampai pada cinta itu sendiri “

Begitulah, baru sesudah mempelajari tasawuf secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan, Rûmî sadar bahwa dalam diri manusia terdapat tenaga tersembunyi, yang jika digunakan dengan cara yang benar dapat membuat seseorang bahagia, bebas dari kungkungan dunia dan memiliki pengetahuan luas tentang Tuhan dan manusia. Tenaga tersembunyi itu disebut Cinta Ilahi.

Cinta benar-benar menjadi sentra pokok dalam khazanah intelektual Rûmî, dari cinta dia banyak menyebutkan tentang berbagai hal seperti nilai-nilai ketuhanan, perwujudan makrokosmos dan mikrokosmos, hubungan esensi dan eksistensi, agama, dan masih banyak lagi. Beberapa hal ini disampaikan Rûmî dalam syair-syairnya. Tentang Ketuhanan, Rumi menyebutnya dalam kitab Diwan sebagai berikut:

Yang lain menyebut Engkau Cinta, tapi aku memanggil dikau Sultan Cinta, Oh Dikau yang berada di seberang konsep ini dan itu, jangan pergi tanpa diriku

Adapun tentang agama, Rumi menuliskannya dalam Matsnawi sebagai berikut:

Agamaku adalah hidup melalui cinta

Adalah malu bagiku, hidup melalui jasad dan roh ini.

Seperti halnya sufi yang lain, Rumi meyakini bahwa cinta merupakan rahasia ketuhanan (sirr Allâh) atau rahasia penciptaan (sirr al-khalq). Karena itu cinta juga merupakan rahasia makhluk-makhlukNya, yang dalam diri manusia merupakan potensi ruhani yang dapat mengangkatnya naik ke hierarki tertinggi penciptaan. Mereka juga yakin bahwa pengalaman mistik dapat membersihkan penglihatan kalbu, sehingga kalbu dapat menyaksikan bahwa wujud hakiki adalah satu, sedang wujud yang lain itu nisbi. Dalam pengalaman kesufian, yang nisbi ini akan sirna tercampak oleh cinta dan kefanaan.

Hubungan Antara Cinta dan Sifat Malu*

“Ketika aku jatuh cinta, aku merasa malu terhadap semua. 
Itulah yang dapat aku katakan tentang cinta

Dulu dia mengusirku, sebelum belas kasih pun turun ke hatinya dan memanggil. Cinta telah memandangku dengan ramah pula
Cinta bagai perantara yang menaruh kasihan, datang memberi perlindungan pada kedua jiwa yang sesat ini
Menangislah seperti kincir angin, rumput-rumput hijau mungkin memancar dari taman istana jiwamu.

Jika engkau ingin menangis, kasihanilah orang yang bercucuran air mata, jika engkau mengharapkan kasih, perlihatkanlah kasihmu pada si lemah”

Bait tersebut merupakan untaian puisi indah Jalaluddin Rumi. Beliau berbicara suatu sifat malu yang selalu dihubungkan dengan cinta (mahabbah), sekaan beliau tidak bisa lepas dengan cinta, karena menurutya cintalah yang mengantrakan segalanya.

Rumi menjelaskan bahwa dengan cintalah ia bisa memiliki sifat malu. Dan sebab sifat inilah gejolak birahi dapat diredam bahkan potensinya dialihkan, baik birahi wanita, tahta, dan lainnya. Karena sifat malu hanya dapat dilakukan oleh seseorang jika ia mampu menundukkan dirinya kepada Tuhan. Dan sifat malu inilah yang merupakan pintu utama untuk memasuki ruangan-ruangan asrar Tuhan yang paling dalam.

Dalam hadisnya Nabi Muhammad Bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَان

“Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik bin Anas] dari [Ibnu Syihab] dari [Salim bin Abdullah] dari [bapaknya], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melewati seorang sahabat Anshar yang saat itu sedang memberi pengarahan saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah bagian dari iman”.

Hadis ini sesuai dengan rangkaian puisi Rumi, bagaimana ia menyatakan rasa malunya karena dipenuhi cinta, cinta yang berangkat dari keimanan. Sebab itu orang yang tidak memiliki rasa malu maka seperti keihilangan kendali dalam kehidupannya. Ia melakukan apapun demi hasrat dan birahinya, tidak akan peduli apapun yang yang terjadi, asalkan ia dapat menuntas segala keinginan hatinya, pikirannya bahkan keinginan hawa nafsunya.

Rangkaian puisi Rumi, dari bait pertama sampai bait keempat, antara malu dan cinta adalah sebuah keterpaduan, malu berangkat dari cinta, cinta berangkat dari iman, dengan malu iman terjaga, karena hakekat malu adalah ihsan, dan ihsan selalu merasa diawasi oleh Tuhan. Senada dengan firman Alllah dalam QS Al-‘Alaq ayat 14:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَىٰ

“Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?

meditasi hati

WUKUFUL QALBI

WUKUFUL QALBI, bisa juga disebut MERENUNG
(menundukan pikiran kepada hati,)
"MUSA pada KHIDIR",
"ADAM pada NUR MUHAMMAD".
WUKUFUL QALBI, bukan sebuah AMALAN berupa DZIKIR, Atau melafadzkan ASMA ALLAH, Tapi Perjalanan ALAM JIWA
(Akal Pikiran, dengan langkah Awal mengosongkan akal fikir dari sesuatu selain Allah, lalu kepala ditundukan kehati dengan segala kepasrahan dan kerelaan)
- - - - - - -
ILAHI ANTA MAQSUDI WA RIDHOKA MATHLUBI
"Ya Allah Hanya Engkaulah Yang Hamba Maksud"
- - - - - - -
Menuju Alam Yang lebih lembut, Yaitu menuju LUB
(fuad, hati yang paling dalam) lalu menyentuh RUH dan RASA (Sirr).
- - - - - - - -
ALAM AKAL Pikiran akan TENGGELAM dan SIRNA, lenyap dan Terserap kedalam ALAM Yang lebih LEMBUT..
Sampai pada akhirnya menyentuh Yang Maha Lembut.
"Tafakkur (merenung) sejenak itu lebih baik dari pada beribadah 70 tahun"
Al hadist.
Karena di dalam merenung (wukuful qalby) kita akan mengenal siapa diri kita, dan menjadi jalan untuk mengenal-Nya, sedang mengenal-Nya Tentunya di saat pada pengenalan ini kondisi kita dalam kondisi "FANA UL FANA"
(mati sebelum mati, atau seperti kondisi Musa yang pingsan dalam bukit Sin) itu sungguh lebih Mulia nilai-Nya dengan dunia dan syurga dengan segala isinya.

Minggu, 16 Februari 2020

Jangan Sombong..

JANGAN SOMBONG DENGAN TAKDIR

JIKA hendak dikirakan ’beriman’ dengan Allah, iblis laknatullah sepatutnya lebih tinggi imannya kepada Allah. Masakan tidak, dia pernah berdialog dengan Allah (dialog yang telah dirakamkan dalam Al Qur’an). Dia percaya kepada syurga dan neraka.

Syaitan yakin tentang adanya Hari Pembalasan. Hendak diukur dari segi ibadah, ya, ibadah iblis begitu hebat. Puluhan ribu tahun sujud, rukuk dan membesarkan Allah hingga terlantik sebagai ketua malaikat. Cuma satu, syaitan kecundang kerana tidak dapat menerima takdir Allah.

Takdir yang menentukan Adam dipilih menjadi Khalifah dan dia diperintahkan sujud lambang hormat kepada Allah dalam mentaati Allah. Syaitan tidak boleh menerima takdir ini. Mengapa dia yang dijadikan daripada api (sedangkan Adam hanya daripada tanah), mengapa dia yang lebih ’senior’ dalam ibadah dan hiraki kepimpinan tidak terpilih menjadi khalifah, sedangkan Adam hanya ’pendatang’ baru yang diciptakan terkemudian?

Iblis sombong kerana tidak menerima ketentuan takdir. Dan dia terhina kerana itu. Lalu, siapakah kita yang angkuh menidakkan dan meminggirkan takdir? Allah, itu Maha Besar, qudrat dan iradatnya tidak akan mampu kita nafikan. Jika cuba menafikan, kita akan terhina seperti terhinanya iblis. Dilaknat dan dimasukkan ke neraka kerana gugur sifat kehambaannya!

TAKDIR DATANG MENGUJI KITA

Dalam episod hidup, takdir datang menguji kita. Mengapa aku mendapat suami yang begini? Mengapa isteriku tidak sebegitu? Kenapa ketuaku orang semacam dia? Kenapa anakku cacat? Mengapa isteri tersayangku pergi dulu? Kenapa aku tidak kaya-kaya lagi walaupun telah berusaha?

Bila masalah melanda kita merasakan kitalah yang paling menderita. Mengapa aku yang tertimpa nasib begini? Mulut berbicara mengaku Allah itu Tuhan kita tetapi mengapa kehendak-Nya kita tidak rela? Benarnya, masalah, ujian dan cabaran dalam hidup itu sangat berkaitan dengan iman.

Iman iblis hancur berderai bila diuji dengan takdir. Ego terpendamnya selama ini terserlah. Terbakar hangus seluruh ibadah yang dibinanya ribuan tahun. Aduh, bagaimana pula kita yang iman hanya setipis kulit bawang dan ibadah yang hanya sekelumit ini? Pujuklah hati, terima takdir itu dengan rela. Katakan, ya Allah sungguh sakit, sungguh perit, tapi apakan daya, aku hambaMu, Kau lebih tahu apa yang terbaik untukku berbanding diriku sendiri. Ya Allah, jangan Kau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekelip mata. Tadbirku seluruh dan sepenuh sujud pada takdir MU.

TAKDIR SENTIASA MENGATASI TADBIR

Takdir sentiasa mengatasi tadbir. Takdir daripada Allah, sedangkan tadbir hanya dari kita hamba-Nya. Kekadang takdir dan tadbir selari, maka terjadilah apa yang kita inginkan terjadi. Namun acapkali (seringkali) takdir dan tadbir bersalahan, maka terjadilah apa yang kita tidak inginkan. Kita ingin putih, hitam pula yang menjelma (datang). Kita dambakan kejayaan, kegagalan pula yang menimpa. Ketika itu hati akan bertanya, apa lagi yang tidak kena? Semuanya telah kutadbirkan, tetapi kenapa gagal jua? Ketika itu timbullah bunga-bung-an ’pemberontakan’ dari dalam diri hamba yang kerdil berdepan dengan Tuhan yang Perkasa. Samada di sedari atau tanpa disedari.

TAKDIR DARI ALLAH MEMPUNYAI BANYAK HIKMAH

Takdir daripada Allah mengandungi banyak hikmah. Ia mengandungi mehnah (didikan langsung dari Allah) yang kekadang tersembunyi daripada pengamatan fikiran biasa. Ilmu semata-mata tanpa iman yang kuat, akan menyebabkan kita terkapa-kapa (tidak menentu, resah) dalam ujian hidup tanpa pedoman yang tepat. Justeru dengan akal semata-mata kita tidak akan dapat meringankan perasaan pada perkara-perkara yang tidak sejalan dengan diri dan kehendak kita. Mengapa terjadi begini? Sedangkan aku telah berusaha?

Untuk mengelakkan hal itu terjadi maka kita mesti berusaha mencari-cari hikmah-hikmah yang terkandung dalam ketentuan (takdir) Tuhan. Ya, hanya manusia yang sempurna akal (ilmu) dan hati (iman) sahaja dapat menjangkau hikmah yang terkandung di dalam cubaan dan bala yang menimpa dirinya. Kata orang, hanya jauhari mengenal manikam.

Orang yang begini akan menjangkau hikmah di sebalik takdir. Dapat melihat sesuatu yang lebih tersirat di sebalik yang tersurat. Ya, mereka tidak akan beranggapan bahawa sifat lemah-lembut Allah lekang (terpisah) daripada segala bentuk takdir-Nya, samada yang kelihatan positif atau negatif pada pandangan manusia. Ertinya, mereka merasai bahawa apa jua takdir Allah adalah bermaksud baik. Jika sebaliknya, mereka merasakan bahawa Tuhan bermasud jahat dalam takdir-Nya, maka itu petanda penglihatan hati tidak jauh, dan akalnya pendek.

Mengapa terjadi demikian? Sebab iman belum mantap, keyakinan masih lemah dan tidak kenal Allah dalam ertikata yang sebenarnya. Bila ketiga-tiga faktor itu sempurna, maka barulah sesorang itu mampu melihat bahawa di dalam cubaan dan bala yang ditakdirkan mengandungi hikmah-hikmah yang baik. Hanya dengan itu, seseorang itu akan merasa senang dan bahagia dalam menghadapi sebarang ujian dalam hidupnya.

BAGAIMANA MERINGANKAN BEBAN HATI?

Bagaimana kita dapat meringankan beban hati ketika menghadapi ujian hidup? Ya, hanya pertalian hati seorang hamba dengan Allah sahaja yang menyebakan ringannya ujian dan cubaan. Hati yang disinar dengan cahaya Allah dan cahaya sifat-sifat-Nya akan berhubung dengan Allah. Untuk meringankan kepedihan bala yang menimpa, hendak dikenal bahawa Allah-lah yang menurunkan bala itu. Dan yakinlah bahawa keputusan (takdir) Allah itu akan memberikan yang terbaik.

Bila kita kenal Allah Maha Pengasih dan Penyayang, kita tak boleh buruk sangka kepada Allah dengan menganggap apa yang ditakdirkan (ujian) itu adalah sesuatu yang tidak baik. Iktikad (yakin) kita semua ketentuan Allah itu adalah baik – ujian itu pasti ada muslihat yang tersembunyi untuk manusia, akan menyebabkan hati terubat. Walaupun pahit, ditelan jua. Sematkan (tanamkan) di hati bahawa pilihan Allah untuk kita adalah yang terbaik tapi kita tidak atau belum mengetahuinya. Bila terjadi nanti, barulah kita tahu.

Katalah kita ditimpa penyakit atau kegagalan, itu mungkin pada hakikatnya baik pada suatu waktu nanti. Betapa ramai, mereka yang sakit, tetapi akhirnya mendapat pengajaran yang besar di sebalik kesakitannya. Contohnya, apa yang berlaku kepada Cat Stevens [Yusuf (Islam)] yang sakitnya itulah yang menyebabkan beliau mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam? Dan betapa ramai pula yang gagal pada mulanya tetapi dengan kegagalan itu bangkit jiwa juang yang lebih kental yang akhirnya membuah kejayaan? Hingga dengan itu masyhurlah kata-kata bahawa kegagalan itu hakikatnya adalah kejayaan yang ditangguhkan!

UJIAN AKAN MENAMBAH TUMPUAN DAN PENGHARAPAN PADA ALLAH

Para ahli hikmah (bijaksana) merumuskan bahawa, antara hikmah ujian ialah, hati akan lebih tumpuan kepada Allah. Dengan ujian, seseorang akan dapat menambah tumpuan dan pengharapannya kepada Allah. Sebab bala dan ujian bertentangan dengan kehendak, keinginan dan syahwat manusia, seperti sakit, rugi, miskin dan lain-lain. Dengan ini nafsu akan terdesak, tidak senang dan ingin lepas daripada ujian. Bila nafsu terdesak, ia akan terdidik secara langsung. Ia akan tertekan dan menjadi jinak. Hakikat ini akan membuka pintu rahmat Allah kerana nafsu yang liar sangat mengajak kepada kejahatan. Bila nafsu hilang kekuatannya maka manusia tidak akan jatuh ke lembah dosa dan maksiat dengan mudah.

Hati tidak dapat tidak mesti bersabar. Hati akan terdidik untuk redha dan tawakal, kerana yakin Qada dan Qadar Allah pasti berlaku. kerana manusia harus terima, tidak boleh menolak ujian itu. Hamba yang soleh menanggung Qadar dengan sabar (bahkan) gembira (syukur) dengan pilihan Allah. Ujian adalah pilihan Allah bukan pilihan manusia. Tidak ada pilihan Allah yang tidak baik. Semuanya baik belaka. Hakikat ini akan menyebabkan kita akan lebih mendekat kepada agama. Hikmah ini walaupun sebesar atom tetapi bila melekat di hati kebaikannya lebih tinggi dari amal lahiriah walaupun sebesar gunung. Justeru, bila hati baik semua anggota badan menjadi baik. Inilah yang ditegaskan oleh Allah menerusi firman-Nya:

“… Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu sedangkan sesuatu itu merosakkan kamu. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak tahu.” [Surah Al Baqarah : 216]

Sesungguhnya, dalam ujian Allah terselit (tersimpan) nikmat-Nya. Mungkin kita tertanya-tanya apakah nikmatnya bila sakit, miskin, gagal, dihina dan sebagainya? Hendaklah kita faham bahawa nikmat di sisi Allah itu terbahagi dua. Pertama, nikmat lahiriah. Dan kedua, nikmat batiniah (rohaniah). Nikmat lahiriah ialah sihat, selamat dan kebaikan fizikal yang lain. Manakala nikmat batiniah ialah nilai-nilai keimanan, keyakinan dan kesabaran. Dengan ujian kesusahan misalnya, barulah terbina sifat sabar. Dan sabar itu adalah separuh daripada keimanan.

UJIAN MENGHAPUSKAN DOSA

Ujian juga akan menghapuskan dosa dan kesalahan seseorang terhadap Allah. Bila kita benci dengan ujian, ertinya belum kenal Allah dan (kerana) tidak faham itulah cara (kaedah) Allah mengampunkan dosa kita. Bila kita gembira (terima dengan baik) ujian itu, kerana yakin bahawa yang datangkan ujian itu juga adalah Allah.

Jadi, apabila kita ditimpa ujian maka berusaha dan berikhtiarlah untuk menangani ujian itu tetapi jangan sesekali lupa mencungkil hikmahnya. Oleh yang demikian, apabila diuji, terimalah dengan baik dengan mencari hikmah-hikmahnya kerana tidak ada takdir Allah yang tidak ada hikmahnya. Ingatlah, bahawa orang soleh itu bila diuji, hikmah-hikmah ujian akan mendekatkan mereka kepada Allah.

Jangan sesekali kita menjadi orang yang rugi yakni mereka yang buta daripada melihat hikmah justeru akal dan hati hanya melihat sesuatu yang selari dengan hawa nafsunya sahaja. Ingatan para hamba yang soleh kepada Allah akan bertambah dengan ujian-ujianNya. Mereka merasakan ujian itu satu petanda yang Allah telah memilih mereka. Mereka sentiasa berbaik sangka dengan Allah dengan cara menyedari (mencari) bahawa setiap yang berlaku samada pahit atau manis pasti ada hikmahnya. Mereka tidak melihat hanya ’asbab’ (sebab-sebab) tetapi matahati mereka dapat menjangkau ’musabbabil asbab’ (Penyebab pada asbab – Tuhan).

Hati mereka berkata:

”Inilah hakikat hidup yang dipilih Allah untukku. Aku akan terus berbaik sangka kepada Allah DIA akan mengubat, melapang dan memberi kemenangan di sebalik ujian ini. Ya, aku tidak tahu, kerana ilmuku terbatas. Tetapi kerana Allah yang Maha Penyayang telah memilih ujian ini untuk diriku maka aku yakin ilmu-Nya Maha luas. Yang pahit ini akan menjadi ubat. Yang pedih ini akan menjadi penawar. Ya, Allah tingkatkanlah imanku bagi mendepani setiap ujian dari-Mu!”

#admin
#AfiNadhifah

Selasa, 04 Februari 2020

reingkarnasi

Penglihatan spiritual.

Ada sebuah riwayat suatu ketika Abu Basyir, salah seorang pengikut dan murid setia Imam Ja’far al-Shadiq, ikut bersama gurunya menunaikan ibadah haji. Ketika sedang bertawaf Abu Basyir bertanya kepada Imam Ja’far: “Apakah Allah akan mengampuni semua orang yang melaksanakan ibadah haji ini?”

 Imam Ja’far menjawab: “Hai Abu Basyir, sebagian besar dari orang yang engkau saksikan ini adalah kera dan babi.” 

Abu Basyir pun meminta, “Tunjukanlah kepadaku hakikat mereka.” Imam Ja’far pun mengusapkan kedua telapak tangan beliau ke kedua mata Abu Basyir, seraya mengucapkan beberapa kalimat. 

Tiba-tiba Abu Basyir melihat sebagian besar dari mereka yang mengelilingi Ka’bah adalah kera dan babi dan ia pun merasa ketakutan. Lalu, Imam Ja’far kembali mengusapkan kedua tapak tangan beliau ke kedua mata Abu Basyir sehingga ia pun kembali menyaksikan bentuk lahiriah orang-orang yang sedang tawaf itu.

Orang-orang yang hatinya bersih dan telah mencapai Mukasyafah, yaitu penglihatan ruhaniahnya sudah tersingkap, maka ketika melihat seseorang akan muncul bentuk hakekat wujudnya sesuai dengan perbuatan selama ini.

Walaupun secara dhohir wujudnya manusia yang ganteng dan tinggi berwibawa, belum tentu wujud hakekatnnya manusia. Begitu juga orang yang memiliki gelar keagamaan, memakai jubah kebesaran agama, surban yang besar, jenggot yang lebat dan jidat yang hitam belum tentu hakekat wujudnya adalah manusia. 

Bahkan banyak yang wujudnya adalah hewan-hewan yang hina dan najis. Karena hakekat wujud ruhani manusia itu sesuai dengan karakter watak dan perbuatan sehari-hari. Wujud babi adalah simbol manusia yang suka berbuat dosa besar seperti berzina. Sedangkan Wujud kera adalah sifat yang menentanh perintah Allah, seperti kaumnya Nabi Musa as. yang dikutuk menjadi kera karena melanggar dan menentang perintah Allah agar tidak pergi mencari ikan pada hari sabtu.

Begitu juga sifat-sifat hewani dalam diri manusia akan membentuk hakekat wujud hewan secara ruhani pada diri manusia sesuai dengan karakternya masing-masing. Jika sifat-sifat hewani dalam diri manusia tidak dibersihkan maka kelak meninggal dunia setelah disiksa  di akherat akan dilahirkan kembali dalam bentuk hewan yang sesuai dengan karakternya.

Sebaliknya orang-orang yang sudah mukasyafah sehingga penglihatan ruhaniahnya sudah disingkapkan, ketika melihat  hewan, ternyata tidak semua hewan itu adalah murni hewan. Melainkan ada yang wujudnya hewan akan tetapi hakekatnya adalah manusia yang sedang dihukum oleh Allah dalam wujud hewan seseuai dengan dosa dan perbuatannya.

Dalam istilah Jawa disebut dengan "Kewan Kamanungsan" yaitu hewan yang sifatnya sama mirip manusia. Biasanya hewan-hewan ini hidupnya berada dalam lingkungangan manusia bahkan hewan yang dipelihara. Bisa juga hewan yang liar di hutan.

Saya dahulu pernah ketika silaturrahmi ke seorang Kiyai yang suka laku ruhani, ketika saya bertanya tentang bab tasawuf, tiba-tiba ada kambing yang besar masuk ke ruang tamu, ayam jago dan kucing juga masuk ke ruang tamu dan mendengarkan pembicaraan kami. Hewan-hewan tersebut diam dan seakan-akan menyimak apa yang kami bicarakan.

Sayapun berkata, "Yai. ini hewan peliharaannya ikut ngaji."

Kiyai tersebut menjawab, " Mereka ingin menjadi manusia."

Memang betul ada hewan yang murni hewan ada hewan yang tidak murni hewan melainkan hakekat wujudnya  mereka adalah manusia yang terkena maskhun yaitu perubahan bentuk manusia menjadi hewan karena  perbuatan dosa-dosanya. Inilah yang sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " فُقِدَتْ أُمَّةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا يُدْرَى مَا فَعَلَتْ ، وَلَا أُرَاهَا إِلَّا الْفَأْرَ أَلَا تَرَوْنَهَا إِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الْإِبِلِ لَمْ تَشْرَبْهُ ، وَإِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الشَّاءِ شَرِبَتْهُ " ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : فَحَدَّثْتُ هَذَا الْحَدِيثَ كَعْبًا ، فَقَالَ : آنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ ، قُلْتُ : نَعَمْ ، قَالَ : ذَلِكَ مِرَارًا ، قُلْتُ : أَأَقْرَأُ التَّوْرَاةَ ، وقَالَ إِسْحَاقُ فِي رِوَايَتِهِ : لَا نَدْرِي مَا فَعَلَتْ .

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Satu kaum dari Bani Israel telah hilang-lenyap tanpa diketahui sebab apa yang telah dikerjakan dan tidak terlihat, kecuali (dalam bentuk) tikus. Tidakkah kamu lihat, jika (tikus itu) diberi susu unta, ia tidak meminumnya, tetapi jika diberi susu kambing ia meminumnya . (Hr. Muslim) 

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَقَالَ لَا أَدْرِي لَعَلَّهُ مِنْ الْقُرُونِ الَّتِي مُسِخَتْ

Dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah diberi daging biawak, namun beliau enggan untuk memakannya seraya bersabda: "Saya tidak tahu (mengenai daging ini), barangkali ia adalah makhluk yang dahulu pernah Allah ubah wujudnya."(Hr. Muslim) 

Bahkan dalam kitab Kanzul Ummal fi sunani aqwal wa af’al, karya al-Muttaqi al-Hindi, pada huruf, kho’, hadits nomor: 15254, ada sebuah riwayat yang menjelaskan tentang adanya Maskhun yaitu perubahan bentuk wujud manusia menjadi hewan karena dosa dan maksiat yang dikerjakannya.

Dari Ali bahwasanya Rasulullah Saw. ditanya tentang al-maskh maka Beliau bersabda: mereka (yang telah dirubah bentuk nya) itu ada tiga belas jenis yaitu: gajah, beruang, babi, monyet, belut, biawak, kelelawar, kalajengking, ulat-ulat jentik ,  laba-laba, kelinci, suhail, zuhroh.

Perlu diperhatikan tidak setiap hewan itu asalnya dari manusia yang dirubah wujudnya, sebagian dari mereka ada yang murni hewan sedangkan  sebagian berasal dari manusia. Orang yang awam tidak akan mengenali mereka, akan tetapi hanya orang-orang yang mukasyafah yaitu tirai penglihatannya di singkapkan sehingga sangat tajam mengenali mereka.

Mereka sangat sedih dan menyesal serta memohon pertolongan pada orang-orang yang sudah mukasyafah yang mampu melihat hakekat mereka untuk minta didoakan dan disempurnakan moga dalam kehidupan berikutnya bisa menjadi manusia sehingga bisa meneruskan perjalanan jiwa.

Orang awam melihat dengan kedua mata yang dhohir, sedangkan orang yang sudah Mukasyafah melihatnya dengan Mata Bashirohnya sehingga bisa melihat hakekat wujud yang dilihatnya secara tajam.

فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ

"Maka  Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." [ Qs. Qaf:22 ]

#cahayagusti.