Selasa, 21 April 2020

Budaya dan Agama

Budaya itu Ibu dan Agama itu Bapak. Budaya dan tradisi suatu daerah itu terbentuk karena sebab banyak hal, beberapa diantaranya adalah adat istiadat yang menumbuhkan nilai" kepatutan dan kearifan lokal, yang menumbuhkan tradisi yang luhur penuh kesantunan.

Dll....

Senin, 20 April 2020

Spiritual kejawen

SYAHADAT ISLAM KEJAWEN
.
Syarat untuk menjadi Muslim adalah bersyahadat, melakukan persaksian. Syahadat adalah Rukun Islam pertama yang harus dipenuhi. Tanpa syahadat, kamu belum bisa disebut Muslim. Bagaimana bunyi syahadat itu, persaksian itu? Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah (Aku bersaksi sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah). Masalah kemudian muncul ketika ada pertanyaan: “Apakah kamu bisa menyaksikan Allah? Apakah Allah bisa dan mungkin disaksikan?” Karena jika tanpa pernah menyaksikan Allah, maka persaksian itu palsu belaka. Untuk itu, kalangan Islam Kejawen mempunyai pemaknaan tersendiri terhadap dua kalimat syahadat. Mereka menerjemahkannya sebagai berikut: “Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Mukamad iku utusaningsun (Ingsun bersaksi tiada Tuhan selain Ingsun, dan Ingsun bersaksi Muhammad utusan Ingsun).” Bagaimana penjelasannya? Simak uraian berikut.
.
Dzatullah (Allah Dalam Dzat) tak mungkin bisa disaksikan. Ia senantiasa “laysa kamitslihi syai’un” (tak serupa dengan apa pun). Dalam khazanah Jawa, Dzatullah ini “tan kena kinira, tan kena kinaya ngapa” (tak bisa digambarkan dengan apa pun), yang disebut dengan Suwung, Kekosongan Abadi. Dalam khazanah Hindu Siwa, Dzatullah ini disebut Paramasiwa (Tuhan absolut yang tak bisa diberi sifat apa pun). Kamu tak akan bisa menyaksikan Dzatullah. Kamu tak bisa menggambarkan Suwung itu seperti apa. Dzatullah adalah Suwung, Kekosongan Abadi, Kemutlakan, yang tak bertempat tetapi segala tempat diliputi oleh-Nya. Karena Dzatullah ini Suwung, Kekosongan Abadi, maka Ia pun tak mengenal ruang-waktu. Dan karena Ia tak mengenal ruang-waktu, maka Ia pun tidak mungkin berfirman atau berkata. Kata-kata selalu terjadi di dalam ruang-waktu. Ada yang berkata dan ada yang diberi kata-kata, ada jarak di sana, sementara Dzatullah/Suwung/Paramasiwa belum mengenal jarak.
.
Akan tetapi, Dzatullah ini kemudian beremanasi, mengejawantahkan diri-Nya, menjadi Pluntar Kahuripan (Cahaya Kehidupan). Pluntar Kahuripan ini adalah Pribadi Tertinggi alam semesta, yang dalam filsafat Hindu Siwa disebut Sadasiwa dan dalam Tasawuf disebut Nur Muhammad. Pada tahap ini, Dzatullah sudah turun ke dalam sifat (Allah Dalam Sifat). Ia sudah mempribadi dan mempunyai sifat dan nama, dikenal dengan Asmaul Husna. Nur Muhammad atau Allah Dalam Sifat ini sudah mengenal ruang-waktu, sudah “mampu” berfirman. Pada tahap inilah Allah bisa dan mungkin “disaksikan”. Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad ini pun berada di dalam diri setiap manusia. Orang Kejawen menyebut Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad di dalam diri manusia dengan nama INGSUN, orang Arab menyebutnya dengan nama RUH, orang Hindu menyebutnya dengan nama ATMAN. Ingsun adalah manifestasi pertama dari Dzatullah/Suwung/Paramasiwa. Ingsun ini bersemayam dalam diri setiap manusia. Ingsun di dalam dirimu tidak berbeda dengan Ingsun di dalam diriku. Itu sebabnya dalam beberapa dalil disebut bahwa inti kemanusiaan itu satu; jika kamu membunuh satu manusia, maka kamu sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Karena memang hakikat, inti, kemanusiaan adalah Ingsun yang tunggal dan sama. Apa beda antara Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad dengan Ingsun? Tidak ada. Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad berada di dalam makrokosmos (alam semesta), Ingsun berada di dalam mikrokosmos (diri manusia). Itu saja. Ibarat air di danau dengan air di cangkir; hakikatnya sama-sama air. Sifat-sifat yang dikandung Allah Dalam Sifat pun dikandung Ingsun. Semua nama mulia Allah dalam Asmaul Husna pun dikandung manusia. Zikir Asmaul Husna sesungguhnya berguna untuk mengaktivasi sifat-sifat mulia Allah di dalam diri kita sendiri. Jika kita membaca “Ya Rahman Ya Rahim (Yang Maha Pengasih dan Penyayang)”, misalnya, itu agar sifat pengasih dan penyayang mengejawantah di dalam diri kita sendiri.
.
Bagaimana dengan Muhammad dalam syahadat? Muhammad bagi Muslim Kejawen adalah diri kita sendiri. Keberadaan kita di dunia sesungguhnya “mengemban tugas” dari Allah/Ingsun untuk memainkan takdir kita di kehidupan fana ini. Kita semua sejatinya adalah “utusan” Allah/Ingsun. Kanjeng Nabi Muhammad adalah salah satu hamba yang telah jumbuh dengan Allah/Ingsun di dalam dirinya, yang telah mampu memahami cetak biru kehidupannya, sehingga laku spiritual beliau patut diteladani. Dengan demikian, pemaknaan Muslim Kejawen tentang dua kalimat syahadat sudah terjawab, bahwa sesungguhnya Allah yang bisa disaksikan dalam syahadat tak lain adalah Ingsun, Allah yang sudah mempribadi, yang sudah mengenal ruang-waktu; sementara Muhammad dalam syahadat tak lain adalah diri kita sendiri, yang menjadi “utusan” Allah/Ingsun untuk mengemban tugas pribadi kita (swadharma) di kehidupan fana ini.
.
Lalu, muncul pertanyaan yang tak kalah besar: Jika Allah yang sudah mempribadi atau Ingsun bisa disaksikan, bagaimana kita bisa menyaksikan-Nya di dalam diri kita? Inilah hal terbesar yang hendak dicapai dalam laku spiritual: jumbuh dengan Ingsun, Allah di dalam diri. Hanya orang yang telah jumbuh dengan Ingsun, Allah di dalam diri, yang tahu jati dirinya. Tetapi tidak semua orang bisa menyaksikan Allah/Ingsun. Perjalanan berat dan panjang untuk bertemu dengan Allah/Ingsun ini dibabar dalam lakon Dewa Ruci yang banyak diyakini dianggit oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, mahaguru para Muslim Kejawen. Lakon Dewa Ruci sesungguhnya berkisah tentang perjalanan spiritual Bima menyelam ke dalam dirinya sendiri, untuk berjumpa dengan Sang Dewa Ruci (nama lain untuk Ingsun/Allah di dalam diri). Ruci bermakna Keutamaan, tetapi dalam paramasastra Jawa, Ruci bisa dimaknai pula dengan Ruh Suci, Ingsun/Allah di dalam diri manusia. Sang Dewa Ruci adalah Sang Guru Sejati dalam diri setiap manusia. Sang naga yang ditempuri Bima di dalam samudra tak lain adalah nafsu Bima sendiri. Tanpa mampu menundukkan sang naga, nafsu di dalam diri, kamu tak akan mampu bertemu dan menyaksikan Sang Dewa Ruci di dalam dirimu. Dan karena Allah dalam diri atau Ingsun tersebut sudah mempribadi, sudah menyandang sifat, sudah mengenal ruang-waktu, maka ketika Bima bertemu dan menyaksikan Sang Dewa Ruci, ia pun bisa bercakap-cakap dengan-Nya. Inilah sesungguhnya yang disebut firman! Sabda utama di relung terdalam jiwa manusia. 
.
Kembali ke pembahasan awal bahwa syarat untuk menjadi Muslim adalah bersyahadat, dan kamu tahu bahwa syahadat itu luar biasa berat, bertemu dan menyaksikan Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci itu luar biasa berat, maka sudah berapa dari kita yang menjadi Muslim dalam makna yang sesungguhnya? Pasti hanya bisa dihitung dengan jari. Tahukah kamu apa arti Muslim? Muslim adalah seseorang yang telah memasrahkan diri sepenuh-penuhnya pada kehendak Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci. Muslim sejati adalah ia yang telah “mati sajroning hurip, hurip sajroning pati” (mati dalam hidup, hidup dalam mati), sebagaimana Bima yang hidup kembali setelah bertemu Sang Dewa Ruci. Karena menjadi Muslim itu sungguh berat, aku pun malu mengaku Muslim, sebab aku belum pernah menyaksikan Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci dalam diriku. Aku belum bisa bersyahadat dengan sungguh-sungguh syahadat. Keislamanku masih berada dalam tanda koma, belum mencapai titik. Maka, mereka yang dengan mudah mengaku Muslim sementara syahadat mereka belum paripurna, lalu dengan sembrono menghakimi orang lain yang tidak sama dengan dirinya sebagai kafir, adalah orang-orang yang kebodohannya sungguh tak tertanggungkan. Semoga Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci memberikan hidayah pada kita semua agar bisa bersyahadat dan menjadi Muslim dalam arti yang sesungguhnya.
.
RUJUKAN:
.
1. Induk Ilmu Kejawen (Wirid Hidayat Jati)
2. Suwung (Ajaran Rahasia Leluhur Jawa)
3. Ilmu Jawa Kuno (Jalan untuk Bertemu Sang Guru Sejati)
4. Serat Gatholoco 
5. Serat Darmagandhul

Jumat, 17 April 2020

Spiritual adalah Seni yang tinggi

Spiritual adalah seni kehidupan yang tertinggi, dan para pelakukan adalah seniman yang unggul dan ulung. Mereka ahli dalam memahat hati dan rasa menjadi Indah, membuat siapapun yang bertemu dengannya dan berada didekatnya hati dan rasanya menjadi tenang, bisa tersenyum dan tertawa tanpa sebab, bisa meringankan semua beban dan meringankan segala penyakit, bisa menerangi kehidupan dan memperindah peranginya.

Jadi keindahan dan jok" seorang spiritual adalah keindahan yang bersumber dari Allah, yang disebabkan oleh hatinya yang selalu bersentuhan kepada Allah. Sehingga dalam perangainya yang nampak adalah keindahan Allah. 

Spiritual adalah citra keindahan yang memelihara dan menjaga kebahagiaan dan Senda gurau dalam setiap peran dalam kehidupan. Spiritual bukan merusak dan membenci, namun ia menjaga dan mencintai, spiritual bukan tentang bagaimana mengambil manfaat, namun ia bicara tentang bagaimana ia bermanfaat, spiritual bukan tentang menjatuhkan tetapi tentang bagaimana mengangkat dan memulyakan.

#ituaja

Kamis, 16 April 2020

Wushul dengan Shalawat

JIKA TIDAK MEMILIKI GURU, SHOLAWAT MENJADI PERANTARA GURU UNTUK BISA DEKAT DENGAN ALLAH SWT

Berkata Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz, "Menganugerahkan sholawat pada Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'alaa aalihi wasallam akan memperkuat hubunganmu dengan Allāh dan Rosul-Nya karena dalam melakukannya engkau mengingat kedua-duanya, Allāh dan Rasul-Nya...

Hal ini terutama berlaku jika engkau melakukannya dalam keadaan mahabbah (cinta) yang dalam, syauq (kerinduan) dan ta'dzim (penghormatan). Engkau harus menyadari ketika melakukan hal itu bahwa sumber segala barokah Allah yang telah diberikan kepadamu dan seluruh makhluk adalah Muhammad saw dan bahwa cahaya agungnya adalah titik awal penciptaan...

Juga mencoba untuk membayangkan beliau shallallahu alaihi wa sallam ada di depanmu saat engkau memberikan sholawat pada-nya, bayangkan bahwa engkau sedang berada di Raudahnya yang diberkati atau Shubbāk nya (jendela di depan makam beliau). Memberikan sholawat kepadanya seolah-olah engkau berada di sana sampai pintu futuh dibuka untukmu dan tabir diangkat...

Jika engkau memberikan sholawat kepada beliau saw dalam keadaan ini, maka akan membawa manfaat tak terbatas dan akan menghasilkan amalan yang tidak bisa dibandingkan dengan amalan baik apapun. Ini akan menjadi sarana pemurnian dan membantu engkau dalam perjalananmu menuju Allah...

Jika engkau tidak memiliki guru, sholawat akan menjadi perantara sebagai pengganti guru untuk bisa dekat dengan Allah. Jika engkau sudah memiliki guru, sholawat akan memperkuat hubungan spiritualmu kepadanya sehingga pintu kepada Nabi bisa dibuka lebih cepat...

Hadits Ubay bin Ka'ab adalah bukti yg cukup dari manfaat menganugerahkan sholawat pada Nabi.
Dia berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam,
"Ya Rasulallah Aku selalu memberikan sholawat kepadamu dan melakukannya dalam kelimpahan. Berapa banyak harusnya sholawat dilimpahkan untuk engkau?"
Dengan kata lain, dia bertanya, 'berapa banyak waktu yang harus kuhabiskan untuk menganugerahkan sholawat atasmu? Apakah Seperempat? "

Rasulullah menjawab: "Jika engkau mau dan melakukannya lebih banyak maka itu lebih baik untukmu."

Ubay bertanya lagi, "Setengah?"
Jawab Rasul saw, "Jika engkau mau dan melakukannya lebih banyak lagi maka lebih baik untukmu"

"Dua pertiga?"
"Jika engkau mau dan melakukannya lebih banyak lagi maka lebih baik untukmu."

"Kalau begitu aku akan menghabiskan semua waktuku untuk bersholawat kepadamu"

Jawab Rasul saw, "Kalau begitu semua kebutuhanmu akan dipenuhi dan dosa-dosamu akan diampuni."
(HR. Aḥmad, al-Tirmidzi dan al-Hakim)

Di antara redaksi sholawat khitob yg dipilih adalah 'Assholatu wassalamu alaika ayyuhannabiyyu wa rohmatullahi wabarakatuh'. Bila engkau membacanya seratus kali sehari maka mustahil Nabi tidak memperhatikanmu. Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi mengatakan barangsiapa bersholawat dengan kalimat Assholatu wassalamu alaika ayyuhannabiyyu wa rohmatullahi wabarokatuh maka seakan-akan ia sedang berziarah ke makam Rasulullah saw. Dan kalimat itu juga mengandung panggilan kepada Nabi. Dan beliau saw apabila dipanggil, maka selalu datang dengan menghadapkan seluruh tubuhnya...

Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa sohbihi wa sallim

Minggu, 12 April 2020

Konsep Tuhan dalam budaya Jawa

Tulisan ini semata.mata hanya untuk  "ngurip-urip i" ajaran leluhur..., agar tidak sampai hilang tersapu angin gurun.

Konsep Tuhan bagi leluhur jawa..., memang tidaklah sesederhana konsep agama.

Agama  "menamakan" Tuhan sehingga mudah diingat..., dan bahkan "mewujudkan" sosok Tuhan sehingga bisa di indera.

Bagi para "lunuwih"...,  menyebut Tuhan dengan sebutan Tuhan saja sudah menjatuhkan makna kesejatiannya.

"Tan Kena Kinaya Napa"..., begitulah leluhur jawa memaknai Sang Causa Prima..., tidak bisa disamakan dengan apapun.

Dia di atas konsep keberadaan..., "Hana Tan Hana"..., di luar apa yang kita namakan ada dan tiada..., karena Tuhan yang "meng-ada" akan jatuh dalam sifat dan anti sifatnya.

Misalkan..., jika kita menyebut Tuhan itu satu..., maka akan diperlukan ruang..., waktu..., dan kondisi untuk bisa disebut satu...;  sekaligus situasi pembanding yang dibilang bukan satu.

Oleh karena itu..., sejak dahulu leluhur menyebut Tuhan itu Maha Esa...,  bukan Maha Eka.

Esa merujuk arti "yang itu" dalam pengertian yg dalam..., sedang Eka berarti satu merujuk pada cacah bilangan.

Di bali sampai saat ini..., konsep Tuhan "tan kena kinaya napa" masih  lestari.

Pelinggih padmasana..., tempat sembahyang orang bali berpuncak bagai kursi kosong..., kadang berhias lambang Hyang Acintya.

Acintya berarti tak terpikirkan/tergambarkan/terbilang..., itulah puncak pemujaan orang Bali.

Hong.., Ong.., Aum... Om...; adalah upaya penyebutan Tuhan dalam spiritualitas yang dalam..., tanpa merujuk ke suatu sosok personal tertentu..., tetapi lebih kepada getaran hati dan jiwa..

Sang Budha Sidharta...,  tak pernah menyebut Tuhan sebagai Tuhan yang personal..., sehingga mudah bagi orang awam menyebut Budha tidak bertuhan..., atau diistilahkan sebagai Atheis. 

Sesungguhnya...,  Budha memahami "Tuhan" dengan sangat mendalam...,  hingga mengatasi sifat.

Ilmuwan berkesimpulan...,  fenomena Black Hole sebelum peristiwa Big Bang...,  adalah menjadi awal terbentuknya materi.

Black hole adalah kekosongan mutlak...,  tanpa ruang tanpa waktu...; tapi mengandung genius energy yang dalam ajaran leluhur disebut sebagai cetana (kesadaran murni).

Dalam pewayangan..., kesadaran murni disimbolkan sebagai Hyang Guru Pramesthi...,  yang mendorong terbentuknya materi..., ruang..., dan waktu yang disimbolkan sebagai Hyang Bathara Kala dalam serat Murwakala.

Tuhan Causa Prima bagi leluhur jawa bali memang tak bisa dipersonalkan..., oleh karena itu para leluhur bercerita tentang Tuhan dengan pesemon..., dengan bahasa simbol yang menakjubkan..., seperti dalam Lakon Murwakala..., Dewa Ruci..., atau Bhagawad Gita maupun Baratayuda. 

Hal ini bukan berarti mempersonalkan Tuhan adalah salah..., karena bagaimanapun manusia perlu "jembatan" dan "perahu".

Diumpamakan para manusia butuh menyeberang dari pulau materialis yang penuh duka menuju pulau hakiki penuh yang damai..., maka masing2 orang bisa menumpang dengan perahu atau meniti jembatan yang berlainan...,  namun satu tujuan.

Rahayu..

(Repeated......)

Sabtu, 11 April 2020

Salah satu manfaat menjaga wudhu


Allah memerintahkan kita untuk selalu suci dari hadas. Bahkan menjanjikan bahwa setiap kita berwudhu akan menghapus, menggugurkan dosa, dan mengangkat derajat kita.

 Dalam hadist dijelaskan,“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya! Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim).

Dosa yang tertebus

Dalam hadist Rasulullah bersabda : 

“Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat untuk datang padanya.” Allah memerintahkan :

1. Malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah.

2. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya

3. Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.

4. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya , maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.

Tatkala Allah akan menyembuhkan hamba mukmin itu, Allah memerintahkan kepada malaikat 1, 2 dan 3 untuk mengembalikan kekuatannya, rasa lezat, dan cahaya di wajah sang hamba.

Namun untuk malaikat ke 4 , Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan dosa-dosanya kepada hamba mukmin.

Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah mengapa dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?”

Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”...

Selasa, 07 April 2020

Pilih akherat nanti atau kini

Siapa yang menganggap akherat adalah saat ini, maka dunia akan mengikuti, dan barang siapa yang menganggap akherat adalah nanti, maka dunia akan menjauhi. Mungkin ini hal yang terdengar aneh, namun bagi mereka yang telah mengalami pasti ia mengerti.

Bagi mereka yang menganggap akherat itu saat ini, maka segala hal yang dilakukan dan diperbuat, ia selalu menganggap dan nilainya sebuah ibadah. Sehingga selalu disertai oleh rasa keikhlasan dan ketulusan, serta rasa yang penuh keindahan. Ia selalu membuat hidupnya laksana di surga, sehingga perkataan, sikap dan ahlaqnya selalu dalam kelembutan dan keindahan. Dia selalu menjaga lisan, pendengaran, pandangan dan penerimaanya dalam segala sesuatu selalu membawa manfaat. Jauh dari sifat dan prilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan menganggap dan menyadari bahwa akherat itu saat ini, maka ia bisa memilih surga atau neraka yang ia tempati. Bila sudah menemukan surga, maka dunia ini akan menjadi ilusi.

Dan sebaliknya, apabila alam raya dianggapnya sebagai dunia, ia akan disibukan oleh urusan, masalah dan keadaan yang selalu menyulitkan dan melelahkanya. Ia menjadikan hari"nya selalu berpacu dan berebut, bertempur dan berlomba" dengan orang lain. Sehingga akal pikiran dan rasa perasaanya akan lelah dan jenuh, dan sudah pasti hidupnya tidak akan bahagia. Hal itu sangat melelahkan dan membosankan.

Bila seseorang itu mengganggap alam raya ini adalah dunia, maka akheratnya adalah sebuah ilusi. Surga dan segala keindahan adalah mimpi belaka. Untuk itu, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah, "Apabila seseorang itu mendaulukan akherat, maka dunia akan mengikuti, dan apabila seseorang itu mendahulukan dunia, maka akheratnya akan meninggalkannya".

Maka temukanlah akheratmu saat ini, dan pilihlah surga atau neraka yang akan kau singgahi.

#ituaja....



Bagi mereka yang menganggap