Sabtu, 16 Mei 2020

Junaid, tentang fana

Syibli meriwayatkan : Aku pergi mengunjungi Abul Husain Ahmad an-Nuri. Aku dapati ia sedang bermeditasi dan tak sehelai rambutnya pun yang bergerak.

“Dari siapakah engkau belajar meditasi yang seperti ini?,” aku bertanya kepadanya.

“Dari seekor kucing yang duduk di lubang tikus,” jawab Abul Husain Ahmad an-Nuri. Binatang itu malah lebih tenang daripada aku.”

Hal ini akan berdampak pula dalam kehidupannya orang bijak ini akan terlepas dari pahala sebab akibat, mencapai tahap yang teramat stabil dan ketenangan luar biasa (tak tergoyahkan oleh fenomena apapun juga).

Abu 'l-Husain al-Nuri adalah penduduk asli Baghdad. Dia adalah seorang teman al-Junaid dan tokoh Sufi seperti Abu Bakr asSyibli dan Huseyn Manshur al-Hallaj di wilayah tersebut.

Namanya "Nuri" berarti "Manusia Cahaya"

Al-Nuri taat beragama dan memiliki temperamen pertapa. Dikatakan bahwa ketika dia berangkat kerja di pagi hari, dia akan membeli beberapa roti dan kemudian membagikannya kepada orang miskin dalam perjalanannya. Dia kemudian akan pergi ke masjid dan berdoa sampai tengah hari sebelum tiba di tempat kerja - tidak pernah makan makanan untuk dirinya sendiri.

Tetapi bahkan dengan belas kasih dan perjuangannya, pada titik tertentu ia menjadi frustrasi karena ia masih diterpa hasrat dan tidak menembus kebenaran batin mistik. Dia kemudian membuat tekad kuat untuk mengikuti kehendak Tuhan dalam segala hal dan tidak terganggu oleh kenyamanan dan keinginan. Dia bertekad untuk menghadapi setiap aspek dirinya, bahkan mempertimbangkan kemungkinan bahwa usaha keras dan kerja kerasnya di masa lalu adalah kemunafikan - sebuah tekad untuk menyingkirkan semua kepalsuan dan penghalang antara dirinya dan Tuhan.

Dalam proses ini, dia mulai menyadari bahwa pikiran kedagingan, diri yang palsu, dan keakuan, mengklaim sebagian dari semua yang disentuh hati. Jadi, ketika Tuhan mengirimkannya wawasan ilahi, identitas yang mencengkeram ini mencuri sebagian darinya - yang menjelaskan kemiskinan pengalaman mistiknya sampai titik itu.

Tentang perjalanan spiritualnya:
Pernah ku dengar bahwa hati para mistik merupakan alat yang amat awas dan mengetahui rahasia segala sesuatu yang terlihat dan terdengar oleh mereka. Karena aku sendiri tak memiliki hati yang seperti itu, maka aku pun berkata kepada diriku sendiri : “Ucapan-ucapan para Nabi dan manusa-manusia suci adalah benar. Mungkin sekali aku telah bersikap munafik dalam usahaku selama ini, dan kegagalanku ini adalah karena kesalahanku sendiri. Di sini tak ada tempat untuk berbeda pendapat. Sekarang aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga aku benar-benar mengenalnya.”

Maka, aku merenungi diriku sendiri. Ternyata kesalahanku adalah bahwa hati dan hawa nafsuku bersatu. Bila hati dan hawa nafsu berpadu, celakalah! Karena jika ada sesuatu yang menyinari hati, maka hawa nafsu akan menyerap sebagian daripadanya. Sadarlah aku bahwa hal inilah yang menjadi sumber dilemma yang ku hadapi selama ini. Segala sesuatu yang datang dari hadirat Allah ke dalam hatiku, sebagian diserap oleh hawa nafsuku.

Sejak saat itu, segala perbuatan yang diperkenankan oleh hawa nafsuku tidak ku lakukan. Yang aku lakukan adalah hal-hal lain yang tak disukainya. Misalnya, apabila hawa nafsuku berkenan jika aku Shalat, berpuasa, bersedekah, menyepi atau bergaul dengan sahabat-sahabatku, maka aku melakukan hal yang sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa nafsuku dapat ku buang dan rahasia-rahasia mistik mulai terbuka di dalam diriku.

Suatu hari aku berdialog dengan diriku sendiri :
“Siapakah engkau,” aku bertanya.

“Aku adalah mutiara dari Lubuk Tanpa Hasrat.” Terdengar jawaban. “Katakan kepada murid-muridmu, lubukku adalah Lubuk Tanpa Hasrat dan mutiaraku adalah Mutiara dari Lubuk Tanpa maksud.”

Kemudian aku turun ke sungai Tigris 
“Aku tidak akan beranjak dari tempat ini,” aku berkata. “sebelum ikan terjerat ke dalam jalaku.”

Akhirnya masuklah seekor ikan ke dalam jalaku. Ketika ku angkat jalaku itu, akupun berseru : “Alhamdulillah, perjuanganku telah berhasil.”

Aku menunjungi Junaid dan berkata kepadanya : “Sebuah karunia telah dilimpahkan kepdaku.”

“Abul Husain Ahmad an-Nuri, junaid menjawab, “Jika yang terjerat oleh jalamu itu adalah seekor ular, bukan seekor ikan, itulah pertanda sebuah karunia. Karena engkau sendiri telah campur tangan. Hal itu hanyalah sebuah tipuan, bukan sebuah karunia. Tanda dari suatu karunia adalah bahwa engkau sama sekali tidak ada di sana lagi.”

Sejak saat itu, ia menggagalkan diri palsu itu di setiap kesempatan. Bahkan dalam melayani orang lain, jika dia menemukan pikiran kedagingan mendapatkan kepuasan, dia dengan cepat berhenti dan mencari cara baru untuk membantu orang lain. Al-Nuri mengatakan bahwa dengan melakukan ini dia perlahan menemukan jalan menuju wawasan mistik yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar